Monday 20 May 2013

Termangu Terpikirkanku.



Tuhan, apa aku harus memikirkan seperti layaknya mereka yang telah bercerita masa depannya kepadaku, apakah itu bukan mainstream?  Yah, tau sih yang berpikir terlalu dalam tentang kehidupan masa depan itu mungkin hanya sebagian kecil mahasiswa saja, jadi mereka itu yang tidak mainstream (pertanyaanku terjawab sendiri olehku). Entah kenapa obrolanku malam ini dengan seorang teman dekat terasa menusuk diri dan membuatku merenung atas perkataannya.
“Kemarin waktu liburan, aku bertemu dengan keluarga muda. Anaknya tiga, lucu-lucu pula” ungkap temenku tadi.
“terus?” jawabku
Yah, kira-kira umurnya kurang dari 30 tahun gitu. Dah pake mobil terus kehidupan mereka mesra banget, bapak gendong anak, ibunya juga, putranya yang satunya lagi jalan sendiri” imbuhnya dengan riangnya.
Dia mengutarakan padaku akan keinginan hatinya untuk memiliki keluarga yang seperti itu dengan segera. Di umurnya yang lebih muda setahun dari aku, dia sudah berpikir bilamana selepas kuliah dan memiliki keluarga akan mengajari anak-anaknya akan kehidupan yang suka menabung.
“Nah, jadi mulai dari anak pertama sudah ditanemin tu rasa berhemat. Beli celengan (tempat menabung) yang bentuknya lucu-lucu” tangkasnya. Dia akan mengajari anak-anaknya akan pentingnya hidup yang penuh ketepatan, mulai dari materi hingga waktu. Tak hanya bercerita begitu saja, dia mengungkapkan padaku kehidupan suami-istri itu harus berjalan berdampingan. Maksudnya jikalau salahsatu dari suami-istri ada yang terpuruk, aka nada yang membangkitkan dan berusaha untuk merangkul demi kehidupan keluarga dapat berjalan dengan baik.
“Kalau sama-sama jatuh, gimana nasib anak-anak coba?” dia memberi alasan kepadaku.
“Suami-istri harus kerja, gag boleh enggak. Kalau udah punya anak, baru deh si istri harus berdiam diri di rumah dan menjaga si baby hingga siap di tinggal kerja lagi” sambungnya.
            Tak kuasaku mendengarkan semua ceritanya. Kami bertemu hanya sekitar dua jam, namun ceritanya tak semuanya dapat aku ceritakan di sini (maaf privasi). Aku sempat terdiam beberapa menit dan sesekali melontarkan pernyataan kepadanya.
“Kamu itu hebat ya, sudah mikir seperti sedalam itu. Aku yang seumur segini belum kepikiran lho, sumpah!”
“Kenapa kita tidak ngobrol tentang hal yang lain saja, how about our skripsi?, how about your activities at campus today? Ayolah kita bisa bercerita dengan topik yang lain kan?” imbuhku,
Entah aku salah ngomong atau salah ucap kepadanya, but at least aku dah mengutarakan apa yang aku inginkan. Tuhan, maafkanku jika aku telah mengingkan hal yang standar dalam kehidupan. Hingga saat ini aku belum pernah membayangkan kedepan aku akan bagaimana, aku hanya berusaha untuk segera mungkin lulus dari kampus  dan memantabkan hati untuk wisuda tahun ini, dapet kerja dan membahagiakan kedua orangtuaku dan juga saudaraku yang telah membantu baik financial maupun pikirannya hingga aku berdiri hingga saat ini. Tanpa mereka aku tak mampu rasanya menjalani hidupku hingga saat ini. Merekalah yang wajib aku pikirkan untuk waktu kedepan. Orang-orang yang aku temui setelah mereka menjadikan penyedap kehidupanku, prioritasku akannya adalah setelah keluargaku.
            Menyimak ucapan temanku, terbesit the big question. Yaha, its so hard to explain it, but wanna share it and doesn’t expect the answer or argument (maaf jikalau ada kesalahan).
“Kapan Saya NIKAH?” mungkin itulah inti daari percakapan ngalor-ngidul (read: panjang) yang di utarakan temeanku. Semua itu butuh kesiapan, ku tak tahu kapan tersipkan diri ini untuk hal tersebut. Kupercayakan Tuhan mengaturnya.
Erik Deka, May 20, 2013
Terimakasihku untuk temanku atas ceritanya.

No comments:

Post a Comment