Tuhan,
apa aku harus memikirkan seperti layaknya mereka yang telah bercerita masa
depannya kepadaku, apakah itu bukan mainstream?
Yah, tau sih yang berpikir terlalu dalam
tentang kehidupan masa depan itu mungkin hanya sebagian kecil mahasiswa saja,
jadi mereka itu yang tidak mainstream (pertanyaanku
terjawab sendiri olehku). Entah kenapa obrolanku malam ini dengan seorang teman
dekat terasa menusuk diri dan membuatku merenung atas perkataannya.
“Kemarin waktu
liburan, aku bertemu dengan keluarga muda. Anaknya tiga, lucu-lucu pula” ungkap temenku
tadi.
“terus?” jawabku
“Yah, kira-kira umurnya kurang dari 30 tahun
gitu. Dah pake mobil terus kehidupan mereka mesra banget, bapak gendong anak,
ibunya juga, putranya yang satunya lagi jalan sendiri” imbuhnya dengan
riangnya.
Dia
mengutarakan padaku akan keinginan hatinya untuk memiliki keluarga yang seperti
itu dengan segera. Di umurnya yang lebih muda setahun dari aku, dia sudah
berpikir bilamana selepas kuliah dan memiliki keluarga akan mengajari
anak-anaknya akan kehidupan yang suka menabung.
“Nah,
jadi mulai dari anak pertama sudah ditanemin tu rasa berhemat. Beli celengan
(tempat menabung) yang bentuknya lucu-lucu” tangkasnya. Dia akan mengajari
anak-anaknya akan pentingnya hidup yang penuh ketepatan, mulai dari materi
hingga waktu. Tak hanya bercerita begitu saja, dia mengungkapkan padaku
kehidupan suami-istri itu harus berjalan berdampingan. Maksudnya jikalau
salahsatu dari suami-istri ada yang terpuruk, aka nada yang membangkitkan dan
berusaha untuk merangkul demi kehidupan keluarga dapat berjalan dengan baik.
“Kalau sama-sama
jatuh, gimana nasib anak-anak coba?” dia memberi alasan kepadaku.
“Suami-istri
harus kerja, gag boleh enggak. Kalau udah punya anak, baru deh si istri harus
berdiam diri di rumah dan menjaga si baby hingga siap di tinggal kerja lagi” sambungnya.
Tak kuasaku mendengarkan semua
ceritanya. Kami bertemu hanya sekitar dua jam, namun ceritanya tak semuanya
dapat aku ceritakan di sini (maaf privasi). Aku sempat terdiam beberapa menit
dan sesekali melontarkan pernyataan kepadanya.
“Kamu itu hebat
ya, sudah mikir seperti sedalam itu. Aku yang seumur segini belum kepikiran
lho, sumpah!”
“Kenapa kita
tidak ngobrol tentang hal yang lain saja, how about our skripsi?, how about
your activities at campus today? Ayolah kita bisa bercerita dengan topik yang
lain kan?”
imbuhku,
Entah
aku salah ngomong atau salah ucap kepadanya, but at least aku dah mengutarakan
apa yang aku inginkan. Tuhan, maafkanku jika aku telah mengingkan hal yang
standar dalam kehidupan. Hingga saat ini aku belum pernah membayangkan kedepan
aku akan bagaimana, aku hanya berusaha untuk segera mungkin lulus dari
kampus dan memantabkan hati untuk wisuda
tahun ini, dapet kerja dan membahagiakan kedua orangtuaku dan juga saudaraku
yang telah membantu baik financial maupun pikirannya hingga aku berdiri hingga saat
ini. Tanpa mereka aku tak mampu rasanya menjalani hidupku hingga saat ini. Merekalah
yang wajib aku pikirkan untuk waktu kedepan. Orang-orang yang aku temui setelah
mereka menjadikan penyedap kehidupanku, prioritasku akannya adalah setelah
keluargaku.
Menyimak ucapan temanku, terbesit
the big question. Yaha, its so hard to explain it, but wanna share it and doesn’t
expect the answer or argument (maaf jikalau ada kesalahan).
“Kapan
Saya NIKAH?” mungkin itulah inti daari percakapan ngalor-ngidul (read: panjang) yang di utarakan temeanku. Semua itu
butuh kesiapan, ku tak tahu kapan tersipkan diri ini untuk hal tersebut.
Kupercayakan Tuhan mengaturnya.
Erik
Deka, May 20, 2013
Terimakasihku
untuk temanku atas ceritanya.
No comments:
Post a Comment